Entri Populer

Selasa, 26 April 2011

Menggagas Fasilitas Publik Ramah Perempuan


Risih. Itulah yang terbersit saat harus berdesakan dalam bus kota menuju tempat kerja. Apalagi jika harus bergelantungan, berdiri diantara laki-laki dewasa. Saat Pak Supir dengan serabutan menekan rem dan gas sesukanya.
Belum lagi saat hamil tua. Kala tak seorangpun mau mengalah, mempersilakan duduk. Sambil mengelus-elus perut yang kian membuncit, rasanya tak ada lagi perlindungan bagi seorang perempuan.
Tak hanya di bus kota. Saya sering bingung saat antri ke toilet, ternyata ketika pintu dibuka, ada laki-laki di baliknya. Apalagi saat masih di kamar mandi, rasanya was-was dan malu mengetahui ada antrean lain yang bukan perempuan. Saat di masjid atau mushola, terpaksa harus menuju ke toilet untuk berwudhu. Yah, daripada harus berdesakan dengan laki-laki atau terpaksa membuka sedikit aurat.
Rasanya mimpi kalau membayangkan ada nursing room atau pojok menyusui di pusat-pusat keramaian. Tidak semua perempuan trampil menyusui dengan penutup, atau sebaliknya tidak semua bayi nyaman menyusu di balik penutup. Alih-alih menginginkan playground atau penitipan bayi dan balita di sekitar tempat kerja.
Mungkin di beberapa kota besar telah tersedia semua fasilitas publik yang ramah perempuan. Mulai dari kendaraan umum khusus perempuan, pemisahan toilet dan tempat wudhu antara laki-laki dan perempuan, nursing room dan tempat penitipan bayi balita di tempat kerja. Tapi bagaimana dengan kota-kota kecil? Apakah perempuan di kota kecil tidak berhak menikmati layanan semacam itu?
Kenyataannya, di kota-kota besar yang telah menyelenggarakan fasilitas publik ramah perempuanpun, tak selalu berjalan mulus. Kereta Prambanan Ekspres antara Jogja-Solo yang diodesikasikan khusus perempuan, pada akhirnya tak mampu membendung keberadaan kaum laki-laki. Terlebih, saat gerbong lain begitu berdesakan sementara di gerbong khusus perempuan tampak lega.
Nursing Room di beberapa pusat keramaian juga kurang dimanfaatkan perempuan menyusui, karena keterbatasan pengetahuan atau alasan lainnya. Perusahaan yang banyak mempekerjakan perempuan juga terkesan enggan menyediakan tempat penitipan bayi dan balita. Hal ini terkait dengan efisiensi anggaran, tenaga dan waktu. Rasanya sangat jauh harapan semua bayi di bawah 6 bulan menerima ASI eksklusif.
Meski berat, fasilitas publik ramah perempuan ini sangat penting diperjuangkan keberadaannya. Perempuan sangat membutuhkan perlindungan dari pelecehan seksual. Perempuan perlu diperjuangkan haknya untuk menjaga kesehatan diri dan kandungannya/ bayinya. Bayi-bayi dan balita juga berhak mendapatkan ASI dari ibunya. Apakah hal-hal ini tak pantas diperjuangkan??
Minimal, bagi pengelola fasilitas publik, entah itu sekolah, pasar, perusahaan/ perkantoran, rumah sakit dan sebagainya, sediakanlah toilet terpisah antara laki-laki dna perempuan. Para pendiri dan pemakmur masjid dan mushola, Anda akan berpahala besar jika menyediakan tempat wudhu khusus perempuan.
Setelah hal-hal minimal ini bisa dilaksanakan, mungkin kita bisa memperjuangkan kembali kendaraan umum khusus perempuan, nursing room atau bahkan sekolah negeri khusus perempuan. Andai semua pihak mau bekerjasama memperjuangkan fasilitas publik ramah perempuan ini, secara signifikan kita juga telah berjuang untuk negeri ini. Bukankah perempuan itu tiang negara?  (Pbg, April 2003)